TRANSPORTASI - Di kota-kota besar Indonesia, pemandangan jalanan yang disesaki mobil pribadi dan motor seakan sudah jadi rutinitas. Jam sibuk menjelang dan setelah kerja? Bukan lagi hanya soal perjalanan, tapi lebih mirip “perjuangan”. Hingar bingar klakson, deretan kendaraan yang merangkak lambat, serta tampang pengemudi yang resah bak hendak berperang, adalah tanda-tanda nyata bahwa kemacetan telah jadi penyakit kronis bagi kota besar kita. Tak heran, banyak yang bilang kemacetan ini bak lingkaran setan yang tak ada ujungnya.
Di balik semua ini, ada dampak serius yang jarang terlihat langsung: kerugian ekonomi yang terus membengkak. Bayangkan, setiap kali kita habiskan waktu di tengah kemacetan, produktivitas yang seharusnya bisa tercipta lenyap begitu saja. Waktu yang terbuang di jalan, uang untuk bahan bakar yang melambung, sampai polusi yang bikin udara makin kotor. Semua ini seakan menguap begitu saja, dan yang paling ironis, sebagian besar dari kita sudah merasa “pasrah” dan “biasa” akan keadaan ini.
Nah, di tengah kebingungan ini, pemerintah menyodorkan solusi subsidi ongkos bagi penumpang kendaraan umum. Katanya, ini bisa jadi strategi untuk membuat warga beralih dari mobil pribadi ke transportasi umum. Mungkin benar, tarif murah atau bahkan gratis bisa jadi daya tarik tersendiri. Tapi, benarkah kebijakan ini ampuh mengurangi kemacetan yang sudah menjamur? Atau jangan-jangan cuma “tempelan” kebijakan yang tak menyentuh akar masalah?
Subsidi Ongkos Kendaraan Umum: Manis di Luar, Pahit di Dalam?
Dengan adanya subsidi ongkos, diharapkan masyarakat jadi lebih semangat naik bus, kereta, atau MRT daripada mengandalkan mobil pribadi. Namun, coba kita lihat kenyataannya. Di lapangan, kondisi transportasi umum masih “begitu-begitu saja.” Banyak moda transportasi yang sudah penuh sesak di jam sibuk, bahkan sering kali tak nyaman dan kurang terawat. Nah, kalau begitu, siapa yang mau “rela” beralih?
Di sisi lain, subsidi ongkos ini sebetulnya sering kali hanya mencakup sebagian moda transportasi. Contoh, di Jakarta, subsidi mungkin bisa bikin tiket TransJakarta atau MRT lebih murah, tapi bagaimana dengan transportasi lanjutan yang harus ditempuh warga dari halte atau stasiun ke rumah? Tanpa integrasi moda yang mulus, perjalanan jadi ribet dan mahal. Akhirnya, warga kembali berpikir dua kali untuk meninggalkan mobil pribadi.
Lalu, apa artinya? Kalau sistem transportasi umum masih jauh dari nyaman dan praktis, subsidi ongkos ini ibarat “gula-gula” yang manis di luar, tapi pahit di dalam. Kembali ke mobil pribadi yang lebih mudah, lebih efisien, dan bebas “repot” rasanya lebih masuk akal bagi banyak orang, meskipun itu berarti harus kembali berhadapan dengan kemacetan.
Kehadiran Negara: Cuma Diucapkan atau Benar-Benar Hadir?
Nah, disinilah pertanyaan besarnya: sejauh mana negara benar-benar hadir dalam mengatasi kemacetan ini? Karena, jujur saja, sekadar memberikan subsidi ongkos tidak akan cukup. Masalahnya kompleks; butuh keberanian dan keseriusan negara dalam menata infrastruktur transportasi yang benar-benar ramah pengguna. Tidak hanya sekadar murah, tapi juga nyaman, cepat, dan efisien. Negara harus hadir dengan kebijakan yang lebih “nendang”, seperti pembatasan kendaraan pribadi di titik-titik tertentu, pengaturan jam kerja yang fleksibel, hingga penyediaan teknologi lalu lintas pintar yang bisa mengurai kemacetan.
Kalau negara hanya sekadar memberi subsidi tanpa menghadirkan sistem yang menyeluruh, bisa-bisa kemacetan tetap jalan terus, ekonomi makin merugi, dan kualitas hidup masyarakat semakin menurun. Singkat kata, kebijakan subsidi ongkos kendaraan umum hanya jadi solusi setengah hati.
Baca juga:
HUT 497 Kota Jakarta, Apa Kabar Transjakarta
|
Akankah Harapan Kita Menguap di Tengah Jalan?
Mari kita lihat ke depan. Apakah subsidi ongkos kendaraan umum benar-benar bisa jadi jawaban, atau hanya sekadar ilusi yang menenangkan sementara? Rakyat butuh lebih dari sekadar tiket murah; mereka butuh jalan keluar dari jerat kemacetan yang menghimpit, dan solusi itu tidak bisa didapat tanpa kehadiran negara yang lebih aktif dan serius. Jadi, sudah saatnya kita, warga kota besar yang lelah terjebak di jalan, bertanya lantang: kapan negara benar-benar turun tangan?
Jakarta, 01 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi