POLITIK - Di pagi yang tak terlalu berbeda dari hari-hari sebelumnya, Ibu Ani sedang menyapu halaman rumahnya yang berdebu. Pohon mangga di depan rumahnya sudah mulai menua, daunnya sering berguguran dan membuatnya harus rajin menyapu. Pagi itu, angin berembus lembut, seolah menenangkan hati orang-orang kampung yang mungkin masih terpaku pada rutinitas sehari-hari.
Namun, ketenangan pagi itu terganggu oleh suara riuh dari kejauhan. Motor-motor berlalu lalang membawa kabar yang tak biasa. Ibu Ani menghentikan sapuannya sejenak, mencoba mendengarkan apa yang sedang terjadi. Tak lama kemudian, Bu Rina, tetangga sebelah rumah, berjalan cepat ke arahnya sambil membawa kantong plastik besar di tangan.
"Ibu Ani!" panggil Bu Rina dengan wajah berseri-seri. "Sudah dapat belum?"
Ibu Ani mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan Bu Rina. "Dapat apa, Bu?" tanyanya.
Bu Rina tersenyum lebar, lalu tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, dia mengangkat kantong plastik di tangannya. "Ini! Sembako sama amplop! Dari tim sukses calon bupati. Mereka keliling kampung dari tadi pagi, bagi-bagi sembako biar kita milih mereka nanti pas Pilkada."
Ibu Ani menatap kantong plastik itu dengan mata sedikit terbelalak. "Oh, jadi ini yang kemarin diomongin orang-orang. Katanya ada yang mau bagi-bagi, tapi saya kira cuma gosip. Saya belum dapat, Bu. Memang mereka ngasih apa aja?"
Dengan semangat, Bu Rina membuka kantong plastiknya dan menunjukkan isinya. "Ini nih! Ada beras lima kilo, minyak goreng satu liter, gula, dan mie instan tiga bungkus. Lumayan, kan, Bu? Oh, sama ini, " lanjutnya sambil mengeluarkan amplop putih kecil, "amplopnya juga ada isinya. Lumayan buat belanja sehari-hari."
Ibu Ani mengangguk-angguk, mencoba menahan senyum. "Lumayan juga, ya. Tapi, gimana ya, Bu... kalau soal pilih-pilih begini, saya masih bingung. Calon-calon bupati ini kan selalu janji-janji manis, tapi ujung-ujungnya kita juga yang cuma dapet janji."
Bu Rina mengangguk setuju. "Benar, Bu. Tapi ya gimana lagi. Ini sembako udah di tangan, duitnya juga bisa dipakai buat beli lauk hari ini. Mau nggak diambil juga rugi, kan? Yang penting nanti pas nyoblos, kita pilih sesuai hati nurani."
Ibu Ani mengerutkan kening. "Saya takut dosa, Bu. Amplop-amplop kayak gini, ya, bikin mikir juga. Kalau diambil, takutnya saya merasa nggak bebas milih. Tapi kalau nggak diambil, ya sayang juga, siapa tahu beneran rezeki."
Bu Rina tertawa kecil, menyikut lengan Ibu Ani. "Bu Ani, Bu Ani, kita ini ibu-ibu yang pinter. Amplop dan sembako diambil, tapi yang penting, pas nyoblos nanti, kan rahasia. Siapa yang tahu kita milih siapa? Di bilik suara, nggak ada yang bisa lihat. Jadi, kita bisa milih sesuai hati nurani. Yang penting perut keisi dulu, Bu!"
Ibu Ani tertawa kecil, walaupun dalam hatinya masih terasa sedikit gelisah. "Iya juga sih, Bu. Tapi ya... saya sebenarnya masih nggak yakin sama semua janji-janji mereka. Soalnya kalau sudah kepilih, lupa deh sama kita yang di kampung-kampung ini."
"Iya, iya, betul itu, Bu, " sahut Bu Rina. "Tapi yang penting sekarang, kita ambil dulu yang dikasih. Lagi pula, siapa yang tahu calon mana yang beneran bisa buat kampung kita lebih baik? Kalau ada yang ngasih sembako, ya kita ambil aja dulu, buat meringankan pengeluaran."
Setelah berbincang sejenak, Ibu Ani pamit masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bu Rina yang masih sibuk berbagi cerita dengan tetangga lainnya di jalanan kampung. Sesampainya di rumah, Ibu Ani duduk di ruang tengah, menatap kosong ke arah amplop yang diletakkan di meja. Dia membuka amplop itu, melihat beberapa lembar uang di dalamnya. "Lumayan buat beli daging nanti, " gumamnya pelan.
Tetapi di balik pikirannya yang sibuk menghitung-hitung kegunaan uang itu, ada satu suara kecil di hatinya yang terus mengusik. Apakah ini benar? Apa mungkin aku menggadaikan masa depan kampung ini hanya demi amplop dan sembako?
Suaminya, Pak Budi, masuk ke rumah dengan langkah pelan. Ia sudah mendengar kabar soal sembako dan amplop yang dibagikan. "Bu, tadi aku juga dengar dari Pak RT soal amplop ini. Menurut kamu gimana?"
Ibu Ani menghela napas. "Ya, saya juga bingung, Pak. Di satu sisi, sembako dan duitnya bisa kita pakai buat sehari-hari. Tapi di sisi lain, saya nggak mau tergantung sama janji-janji kosong mereka."
Pak Budi, yang dikenal lebih bijak, duduk di sebelahnya. "Pilihan kita tetap milik kita sendiri, Bu. Amplop itu nggak bisa beli suara kita. Kita tahu siapa yang bisa bawa perubahan buat kampung kita, siapa yang cuma janji manis. Di bilik suara nanti, yang penting kita pilih yang terbaik buat masa depan anak-anak."
Mereka berdua terdiam sejenak, memikirkan masa depan kampung kecil mereka. Sementara itu, suara motor dan tawa warga yang menerima sembako terus terdengar dari luar rumah. Di mata mereka, amplop dan sembako itu mungkin hanya bantuan kecil yang tak seberapa. Namun di balik itu semua, ada harapan yang jauh lebih besar—harapan akan pemimpin yang benar-benar peduli, bukan sekadar pengobral janji.
Hari berganti, Pilkada semakin dekat. Suasana di kampung kian ramai. Para calon terus berkampanye, menjanjikan segala macam hal yang ingin didengar masyarakat. Namun, bagi Ibu Ani, keputusan sudah jelas. Dia mungkin menerima amplop dan sembako, tetapi di bilik suara nanti, hatinya yang berbicara.
Baca juga:
Journalists in Legal Perspective Analysis
|
Dan pada hari pemilihan, di bilik suara yang sunyi, Ibu Ani tersenyum tipis. "Janji manis boleh datang dan pergi, " pikirnya, "tapi masa depan kampung kita adalah pilihan yang tak bisa dibeli dengan amplop dan sebungkus sembako."
Jakarta, 02 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi